Gawattt, Bukit Kapur Kamang Mudiak: Tambang Lokal yang Dibekingi BUMD Banjar?

Oleh ET Hadi Saputra, Pengamat Hukum Lingkungan & Pertambangan 31 Oktober 2025.

MediaSuaraMabes, Agam – Apa yang bisa lebih aneh dari tambang batu kapur di Sumatera Barat yang merusak rumah warga, beroperasi tanpa izin, tapi pemiliknya berbau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dari Kalimantan Selatan?

Ini bukan fiksi. Ini Kamang Mudiak, Kabupaten Agam.

Dinding rumah warga retak, perizinan mati suri, dan penegakan hukumnya masuk angin.

Ini cerita lama, tapi hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa masalah ini justru semakin tebal selubungnya.

Izin Mati, Mesin Hidup

Coba kita lihat PT Bakapindo. Perusahaan ini sudah beroperasi di Jorong Durian Nagari Kamang Mudik sejak era CV Bukit Raya tahun 1981.

Tiga generasi telah melihat bukit kapur itu dikeruk. Masalahnya bukit kapur meledak ketika Izin Operasi Produksi (OP) mereka kedaluwarsa. Logika hukumnya: Kalau izin OP habis, ya berhenti.

Tapi Bakapindo tidak berhenti. Mereka mengantongi IUP Eksplorasi—izin untuk melamar dan meneliti saja—namun praktiknya tetap memproduksi dan menjual.Truk-truk besar tetap lalu lalang dan bolak-balik membawa batu dan hasil produksi.

Ini namanya PETI (Pertambangan Tanpa Izin) yang bermartabat. PETI yang menggunakan alat berat, bukan sekadar cangkul.

Sejak akhir 2022, Polresta Bukittinggi sudah turun. Penyelidikan dilakukan. Namun, dua tahun berjalan (hingga Oktober 2025), tidak ada satupun berita atau sitasi resmi Mahkamah Agung (MA) yang mengkonfirmasi putusan pidana terhadap perusahaan ini. Kasusnya stagnan/ terhambat.

Hukum kita ini unik. Bagi penambang kecil, sanksi cepat. Bagi korporasi besar yang melanggar RTRW, merusak rumah rakyat, dan bermain izin, prosesnya seperti siput yang sedang meditasi. Ini bukan rem blong lagi. Ini namanya kunci gembok sistemik.

Misteri Sang Owner Baramarta,

Di sinilah benang merah kerumitan itu terkuak. Dalam struktur internal PT. Bakapindo, ada penyebutan entitas yang bertanggung jawab di pusat, salah satunya adalah PD Baramarta.

Saya harus menggarisbawahi: PD Baramarta yang dikenal publik adalah BUMD milik Pemerintah Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. BUMD ini bergerak di sektor batu bara.

Apa hubungan perusahaan batu kapur lokal Agam dengan BUMD batu bara Banjar?

Apakah BUMD Banjar itu menjadi pemodal utama tambang di Agam?
Apakah ini trik bisnis untuk menciptakan tameng birokrasi antar-provinsi?

Hubungan yang tidak wajar ini membuat siapa pun yang ingin menindak Bakapindo—mulai dari Walinagari Kamang Mudiak, Camat Kamang Magek, Bupati Agam, hingga Kapolda Sumbar—harus berhadapan dengan entitas yang punya jaringan modal dan potensi backing lintas daerah.

Ini bukan lagi soal H. Delisman atau pemilik perorangan. Ini soal intervensi modal daerah ke sumber daya daerah lain, yang berpotensi melanggengkan operasi ilegal.

Keadilan bagi Retaknya Dinding

Warga hanya meminta keadilan: Hentikan getaran yang meretakkan rumah mereka. Hentikan debu yang mengganggu pernapasan anak-anak yang membuat trauma dan ketakutan.

Dan jangan lupakan isu perizinan yang busuk ini. Jika perusahaan jelas-jelas melanggar Perda RTRW Agam dan menyalahgunakan IUP Eksplorasi, maka Pemerintah Provinsi harus cabut izinnya.

Tidak ada hubungan yang ditemukan dengan almarhum Katarnida Bakri SH. Pertanyaan itu tidak relevan. Yang relevan adalah: Siapa yang melindungi sistem ini?

Jawabannya terukir di bukit kapur yang terus dikeruk, dan pada dinding rumah warga yang dibiarkan retak tanpa ganti rugi. Sampai kapan hukum kita hanya menjadi macan kertas di depan para penambang berizin ganda? Kita tunggu saja. Tapi sepertinya, kita akan menunggu sampai seluruh bukit kapur itu rata.

(FK/MYLBS)

Comment