MediaSuaraMabes, Gaza – Secara statistik jurnalis tewas dalam perang di Gaza Palestina akibat gempuran serdadu Zionis ternyata jumlahnya lebih banyak dibanding tragedi perang di belahan bumi lain. Bahkan dalam perang Dunia I dan II sekalipun. Data ini terungkap dalam laporan Cost of War Project Universitas Brown Amerika Serikat.
Mereka melaporkan, sejak perang Israel vs Hamas dimulai pada 7 Oktober 2023, total jumlah jurnalis yang tewas di Gaza lebih banyak bila dibandingkan dengan Perang Sipil AS, Perang Dunia I dan II, Perang Korea, Perang Vietnam, peperangan di bekas Yugoslavia, dan perang di Afghanistan (pasca serangan WTC Amerika).
Menurut Reporters Without Borders (RWB), seperti dikutip dari Al-Jazeera, Tahun 2024 menjadi tahun paling mematikan bagi jurnalis dengan lebih dari 120 jusnalis terbunuh. Kemudian sejak awal 2025, lebih dari 50 wartawan dan pekerja media telah terbunuh dalam serangan Israel di Gaza.
Pembunuhan terbaru menimpa Jurnalis Al-Jazeera Anas al-Sharif. Reporter berusia 28 tahun itu tewas bersama empat rekannya dalam serangan Israel yang sengaja membidik tenda media di luar gerbang utama Rumah Sakit al-Shifa di Kota Gaza.
Reporter Al-Jazeera Hani al-Shaer mengatakan drone Israel menghantam tenda sekitar pukul 23.35 waktu setempat, Minggu 10 Agustus 2025. Akibat serangan itu tujuh orang tewas. Selain Anas, koresponden Al Jazeera Mohammed Qreiqeh (33) bersama operator kamera Ibrahim Zaher (25) juga tewas. Lalu korban meninggal lainnya Mohammed Noufal (29), Moamen Aliwa (23).
Israel sengaja menargetkan pembunuhan terhadap jurnalis Al-Jazeera bukan pertama kalinya. Sebelum serangan malam Minggu itu, setidaknya lima jurnalis media itu telah lebih dulu dibunuh. Pada 14 Desember 2023, kameramen Samer Abudaqa menjadi target serangan udara Israel saat melaporkan bersama kepala biro Gaza Wael Dahdouh yang terluka dalam serangan sama.
Abudaqa ditelantarkan dalam kondisi pendarahan hebat hingga akhirnya mati di sebuah sekolah Farhana di Khan Younis, tempat mereka sedang merekam dan melaporkan peristiwa. Sementara saat itu para pekerja darurat diadang oleh militer Israel untuk mencapai lokasi tersebut.
Pada 7 Januari 2024, putra tertua Wael dan sesama jurnalis Al Jazeera, Hamza Dahdouh, tewas akibat serangan rudal yang menargetkan kendaraan mereka di Khan Younis. Lalu pada 24 Maret 2024, koresponden Hossam Shabat juga terbunuh dalam serangan Israel di bagian Beit Lahiya Gaza Utara.
Pada 31 Juli 2024, Ismail al-Ghoul dan juru kameranya Rami al-Rifi tewas dalam serangan Israel di kamp pengungsi Shati dengan kondisi serupa. Rudal menghantam kendaraan mereka meskipun memiliki tanda media yang jelas dan keduanya mengenakan rompi identitas media.
Berikutnya 15 Desember 2024, Israel juga membunuh jurnalis Al Jazeera Ahmed al-Louh dalam serangan udara di kamp Nuseirat di Gaza tengah.
Al Jazeera mengutuk pembunuhan yang sengaja menargetkan korespondennya. Perusahaan jaringan media terbesar di Timur Tengah itu menganggap hal itu sebagai kejahatan perang. Serangan Israel tersebut sudah direncanakan dan sengaja menyerang kebebasan pers. Anas al-Sharif dan rekan-rekannya yang terbunuh dua hari lalu merupakan jurnalis terakhir yang melaporkan di Gaza, sementara media internasional lain dilarang masuk oleh Israel.
Misi Palestina untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menuduh Israel secara “sengaja membunuh Anas al-Sharif dan Qreiqeh sebab kerja mereka yang secara sistematis mengungkap dan mendokumentasikan genosida dan kelaparan yang dilakukan Israel”.
Hal itu disampaikan Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, sambil menyerukan penyelidikan dan menekankan bahwa jurnalis di mana saja harus diizinkan bekerja tanpa rasa takut menjadi target.
Amnesty International mengutuk pembunuhan tersebut sebagai kejahatan perang dan menghormati Anas al-Sharif sebagai reporter yang “berani dan luar biasa”. Amnesty International pun mencatat bahwa al-Sharif pernah menerima Penghargaan Pembela Hak Asasi Manusia pada 2024 atas komitmennya terhadap kebebasan pers.
Total 270 jurnalis tewas di Gaza
Hampir 270 jurnalis dan pekerja media telah dibunuh oleh Israel di Gaza dalam 22 bulan perang atau sekitar 13 jurnalis setiap bulan. Demikian menurut catatan Shireen.ps, sebuah situs pemantauan aktivitas jurnalis yang dinamai sesuai dengan jurnalis Al-Jazeera, Shireen Abu Akleh, yang ditembak dan dibunuh oleh pasukan Israel di Tepi Barat pada 2022.
Apa yang membuat statistik tersebut kian mencolok adalah kenyataan bahwa Gaza kehilangan suaranya dari lapangan ketika Israel melarang media-media internasional memasuki wilayah yang mereka blokade.
Padahal Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) menjelaskan, pembunuhan jurnalis dan penahanan mereka sejak 7 Oktober 2023, telah menciptakan “kekosongan berita” yang bisa memperbesar potensi kejahatan perang sebab tidak terdokumentasikan dengan baik.
Pada Juni 2025, RSF, CPJ, dan organisasi berita menerbitkan surat terbuka yang menyatakan bahwa banyak jurnalis Palestina yang ditugaskan di luar Gaza juga menghadapi berbagai ancaman dan tekanan terhadap nyawa mereka karena melakukan pekerjaan jurnalistiknya. “Penargetan wartawan telah berlanjut sejak saat itu meskipun ada kecaman internasional terhadap tindakan Israel.”
Dalam sebuah pernyataan, Amnesty International mengatakan: “Israel tidak hanya membunuh jurnalis tetapi juga menyerang jurnalisme itu sendiri dengan mencegah dokumentasi genosida.” (**Red)

Redaksi Media Suara Mabes (MSM) sebagai editor Publisher Website
Comment