USK: Universitas Suka Kau

Oleh: Teuku Abdul Hannan
Pemerhati Pengadaan Barang/Jasa

MediaSuaraMabes, Aceh – Suatu hari, seorang pengacara muda bertanya kepada penulis:

“ Apakah uang yang dikelola oleh PTN-BH seperti USK itu termasuk uang negara? Bukankah sebagian besar berasal dari mahasiswa, bukan dari APBN? ”

Pertanyaan ini sederhana, namun mencerminkan kebingungan yang sangat wajar—dan sering kali diabaikan. Banyak pihak mengira bahwa ketika suatu perguruan tinggi negeri memperoleh status sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), maka semua yang mereka kelola—termasuk uang dari mahasiswa atau hasil kerja sama—tidak lagi tunduk pada hukum keuangan negara. Anggapan ini keliru.

Universitas Syiah Kuala (USK) telah resmi berstatus PTN-BH berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2022 tentang Statuta Universitas Syiah Kuala. Perubahan ini memberi USK keleluasaan dalam mengelola organisasi, sumber daya manusia, aset, dan keuangan—termasuk dana yang tidak berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), atau yang biasa disebut dana non-APBN.

Namun, otonomi bukanlah kebebasan tanpa batas. Ia tetap berada dalam pagar hukum negara. Dana non-APBN tetap merupakan bagian dari keuangan negara, karena dikelola oleh institusi negara, diatur oleh peraturan negara, dan dipergunakan untuk pelayanan publik.

Oleh karena itu, pengelolaannya tetap wajib tunduk pada prinsip-prinsip keuangan negara, yaitu: efisien, efektif, transparan, bersaing, adil, akuntabel, dan patuh hukum.

Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Di bawah bendera PTN-BH, pengelolaan dana non-APBN di USK justru dilakukan secara tertutup, sepihak, dan tanpa dasar hukum yang sah, sebagaimana terlihat dalam sejumlah temuan:

• Proyek-proyek bernilai miliaran dibayar penuh meski pengawasan fiktif;
• Kontrak diputus sepihak tanpa alasan teknis yang dapat dipertanggungjawabkan;
• Majelis Wali Amanat (MWA) tidak dilibatkan dalam evaluasi kebijakan dan keuangan;
• Satuan Pengawasan Internal (SPI) memilih diam, tanpa audit, tanpa laporan, tanpa sikap.

Dan semua ini dibenarkan oleh satu dalih absurd:

“ Karena dananya bukan APB N.”

Dalih ini bukan hanya absurd, tapi juga keliru secara hukum—dan membahayakan integritas pengelolaan publik.

Padahal, dari perspektif hukum keuangan negara, sumber dana bukanlah penentu status. Selama dana itu dikelola oleh institusi publik dan digunakan untuk pelayanan publik, maka statusnya tetap uang negara—dan pengelolaannya wajib mengikuti hukum yang berlaku, termasuk prinsip-prinsip integritas dalam pengadaan dan pertanggungjawaban keuangan.

Definisi keuangan negara dalam hukum Indonesia telah ditegaskan dalam berbagai undang-undang, seperti dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyebutkan bahwa keuangan negara mencakup seluruh hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya seluruh kekayaan negara yang dikelola oleh entitas pemerintahan, baik yang bersumber dari APBN maupun bukan. Dengan demikian, dana non-APBN yang dikelola oleh perguruan tinggi negeri tetap tunduk pada prinsip dan hukum keuangan negara.

Kerangka Hukum yang Mengikat PTN-BH

Namun perlu ditegaskan secara eksplisit: otonomi bukan berarti bebas dari hukum nasional. Status PTN-BH memang memberi keleluasaan, tetapi bukan kekebalan hukum.

Sebagai contoh, Pasal 90 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2014 menyebutkan:

” PTN-BH dapat mengatur sendiri pengadaan barang/jasa di lingkungan PTN-BH sesuai dengan kebutuhan dan tata kelola masing-masing. ”

Namun keleluasaan ini bukan tanpa batas. Ayat berikutnya menegaskan rambu-rambu penting:

• Pasal 90 ayat (2):
“Pengaturan tersebut harus mengacu pada prinsip efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan bebas dari konflik kepentingan.”

• Pasal 91 ayat (1):
“Pengadaan barang/jasa di lingkungan PTN-BH tetap mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah.”

Dengan demikian, status PTN-BH tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan:

• Perpres No. 16 Tahun 2018 jo. Perpres No. 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
• Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP),
• Dan prinsip dasar tata kelola keuangan negara.

Opini ini ditulis sebagai bentuk edukasi publik—khususnya bagi orang tua mahasiswa—agar memahami bahwa kontribusi mereka kepada kampus negeri tetap berada dalam ranah keuangan negara yang wajib diawasi, tidak boleh dikelola semaunya, dan harus tunduk pada hukum yang berlaku.

Judul tulisan ini merupakan bentuk satire hukum terhadap fenomena pengelolaan kampus yang semakin personalistik dan transaksional—sebuah kondisi yang lahir dari ketiadaan transparansi serta lemahnya akuntabilitas institusional. Satire ini tidak ditujukan untuk menyerang pribadi siapa pun, melainkan untuk menggugah kesadaran publik bahwa lembaga negara tidak boleh dijalankan seperti milik pribadi. Ini adalah ekspresi sah dalam ruang demokrasi, disusun berdasarkan data, regulasi, dan kepentingan bersama untuk menjaga integritas pengelolaan keuangan publik.

Apa itu “Dana Non-APBN” di PTN-BH?

Dana non-APBN adalah penerimaan USK yang tidak berasal dari APBN, meliputi:

• Uang Kuliah Tunggal (UKT), SPP, dan iuran dari mahasiswa;
• Hibah, sponsor, atau kerjasama dengan pihak ketiga;
• Pendapatan dari unit usaha kampus, seperti rumah sakit pendidikan, laboratorium, hingga penyewaan aset.

Sumber-sumber ini digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan, termasuk proyek Pembangunan Gedung FKIP Tahap II Tahun 2024 & Pembangunan Gedung Fakultas Kedokteran Gigi Blok V Universitas Syiah Kuala Tahun 2025, yang menjadi sorotan karena adanya dugaan pelanggaran pengawasan, pemborosan anggaran, dan ketidaksesuaian prosedur hukum dalam pengelolaannya.

Apakah Dana Non-APBN = Uang Negara?

Ya. Hukum Indonesia menganut definisi luas “keuangan negara”:

• UU 17/2003 (Keuangan Negara)

o Pasal 1 angka 1: keuangan negara = semua hak/kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu yang dapat dijadikan milik negara.

o Pasal 2: ruang lingkup keuangan negara mencakup objek, subjek, proses, tujuan—termasuk yang dikelola institusi negara di luar APBN.

• UU 1/2004 (Perbendaharaan Negara)

o Pasal 1 menegaskan pengelolaan & pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan.

• UU 12/2012 (Pendidikan Tinggi)

o Pasal 63 & 65: otonomi pengelolaan PT (termasuk keuangan non-APBN) wajib berprinsip akuntabilitas & transparansi.

• Mahkamah Konstitusi juga telah mempertegas posisi ini melalui Putusan No. 48/PUU-XI/2013 dan No. 62/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa pengertian keuangan negara bersifat luas dan komprehensif. Dana publik yang dikelola oleh institusi negara—baik yang berasal dari masyarakat, kontribusi mahasiswa, maupun kerja sama dengan pihak ketiga—tetap merupakan bagian dari keuangan negara dan berada dalam jangkauan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Implikasi langsung: UKT, hibah, sponsor, dan pendapatan usaha USK termasuk keuangan negara saat dikelola USK sebagai badan hukum publik (PTN-BH). Konsekuensinya: wajib dipertanggungjawabkan dan dapat diaudit.

Statuta USK (PP 38/2022): Peran Rektor, MWA, dan SPI

PP 38/2022 (Statuta USK) menata organ dan tata kelola: Rektor mengelola dan bertanggung jawab atas keuangan, namun pertanggungjawaban keuangan dilaporkan kepada MWA; MWA memegang fungsi pengawasan dan penetapan kebijakan non-akademik; SPI melakukan pengawasan internal. Artinya, checks & balances adalah keharusan, bukan opsional.

Padahal, MWA secara hukum memegang fungsi strategis dalam pengawasan keuangan non-akademik. Ketidakhadiran MWA dalam isu ini justru memperkuat persepsi bahwa lembaga ini telah menjadi simbol, bukan pengontrol.

Di Mana SPI USK?

Sebagai PTN-BH, USK secara hukum wajib membentuk Satuan Pengawasan Internal (SPI):

• PP No. 4 Tahun 2014 Pasal 51 ayat (1): SPI wajib dibentuk di PTN-BH untuk mengawasi pengelolaan keuangan dan kinerja.
• PP No. 38 Tahun 2022 Pasal 100–101: SPI berada di bawah Rektor dan bertugas melakukan audit, evaluasi pengendalian, serta pengawasan kepatuhan hukum.

Namun dalam praktiknya:

• Tidak ada audit SPI terhadap proyek FKIP Tahap II;
• Tidak ada laporan SPI atas pembayaran pengawasan fiktif;
• Tidak ada klarifikasi publik dari SPI dalam kasus-kasus pengadaan.

Padahal, sesuai informasi resmi SIMPEG USK, posisi Kepala Kantor Audit Internal saat ini dijabat oleh Suparno, S.E.Ak., M.Si., CA, QGIA, dan Sekretaris dijabat oleh Rahmawaty, S.E., M.Si.Ak., CA, QGIA, dengan masa jabatan 8 Agustus 2023 sampai 13 Mei 2026.

Publik berhak menuntut pertanggungjawaban moral dan profesional dari pejabat SPI yang secara struktural diberi kewenangan untuk mengawasi dan mengevaluasi penggunaan uang negara, termasuk dana non-APBN.

Konflik Kepentingan Struktural dalam SPI

Fakta: SPI berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Rektor.

Artinya, jika yang harus diaudit adalah kebijakan Rektor sendiri, maka terjadi konflik kepentingan yang serius.

SPI dalam struktur ini rawan menjadi alat administratif, bukan lembaga pengawasan yang independen. Karena itulah, banyak PTN-BH di Indonesia telah membentuk Komite Audit di bawah MWA sebagai penyeimbang yang lebih objektif dan bebas dari pengaruh eksekutif kampus.

Sayangnya, hingga kini, USK belum mengambil langkah reformasi struktural tersebut—sebuah kelalaian yang memperlemah sistem pengawasan internal kampus.

Tanpa independensi, SPI tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai penjaga uang negara.

Akar Masalah: Keputusan Rektor Tanpa Dasar Hukum

Kelemahan sistemik paling nyata terdapat dalam Keputusan Rektor Universitas Syiah Kuala Nomor 476/UN11/KPT/2024 tanggal 26 Januari 2024, yang menetapkan:

• Prof. Dr. Ir. Taufiq Saidi, M.Eng., IPU. sebagai Kepala SUKPA;
• Dr. Ir. Suriadi, S.T., M.Sc., IPM., ASEAN.Eng. sebagai PPK Pelaksana konstruksi;
• Ir. Rudiansyah Putra, S.T., M.Si., IPM. sebagai PPK Perencana & Pengawas konstruksi;

Namun fatalnya, keputusan ini tidak mencantumkan satu pun regulasi yang mengatur pengadaan barang/jasa sebagai dasar hukumnya.

• Tidak merujuk Perpres No. 16 Tahun 2018 atau Perpres No. 12 Tahun 2021.
• Tidak menyebut Peraturan Rektor USK No. 54 Tahun 2023 tentang PBJ, padahal itu adalah norma internal kampus sendiri.

Ini bukan sekadar kelalaian administratif, tapi cacat yuridis mendasar yang menciptakan ruang kosong hukum dalam pengelolaan dana negara.

Pengadaan dengan Dana Non-APBN: Wajib prinsip, rujukan Perpres mutakhir

Walau Perpres 16/2018 (jo Perpres 12/2021, Perpres 46/2025) secara eksplisit mengatur PBJ yang dibiayai APBN/APBD, PTN-BH sebagai entitas publik wajib memastikan prinsip pengadaan (efisien, efektif, transparan, bersaing, adil, dan akuntabel) tetap berlaku—baik melalui adopsi langsung Perpres/Peraturan LKPP maupun melalui peraturan internal yang setara standar.

Kritik utama pada praktik USK: keputusan keuangan/pengadaan non-APBN yang tidak merujuk prinsip/standar PBJ terkini atau tidak menampilkan regulasi rujukan di SK operasional berpotensi maladministrasi dan membuka ruang arbitrariness (diskresi tanpa pagar norma).

Konsekuensi Hukum: Bisa Pidana

Karena dana non-APBN merupakan bagian dari keuangan negara, maka setiap bentuk penyimpangan terhadap pengelolaannya dapat dijerat melalui instrumen hukum pidana:

• Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001):

o Pasal 2: Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara → dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan maksimal seumur hidup.

o Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara → dipidana dengan pidana yang sama seperti Pasal 2.

Jika unsur kerugian negara dapat dibuktikan, maka ketentuan Pasal 3 ini tetap berlaku meskipun pelaku mengklaim telah bertindak dengan “itikad baik”. Yurisprudensi Mahkamah Agung secara konsisten menyatakan bahwa pembuktian kerugian negara cukup untuk pemidanaan, terlepas dari niat pelaku.

• Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

o Pasal 263: Pemalsuan surat atau dokumen resmi → dipidana penjara hingga 6 tahun.

o Pasal 372: Penggelapan dalam jabatan atau penguasaan atas uang milik negara → dipidana penjara hingga 4 tahun.

Seruan terbuka

• Rektor & MWA: publikasikan laporan dana non-APBN 3 tahun terakhir (kontrak, progres, pembayaran, hasil). Bila semua telah sesuai, tak ada alasan untuk tidak membuka. Bila belum, perbaiki sekarang sebelum masalahnya melebar. (Statuta USK; asas akuntabilitas.)

• SPI & Akuntan Publik: lakukan audit tematik pada paket berisiko tinggi (pengawasan konstruksi, kerja sama aset).

• Publik & sivitas: kawal transparansi—ini kampus negeri, uangnya uang publik.

Kampus tanpa transparansi adalah bom waktu korupsi berjubah inovasi.

Tujuan Penulis Mempublikasikan Opini Ini

Melalui opini ini, penulis menyerukan kontrol sosial berbasis hukum yang bertanggung jawab. Penulis ingin seluruh pemangku kepentingan di lingkungan Universitas Syiah Kuala—mulai dari pimpinan universitas, Majelis Wali Amanat (MWA), Satuan Pengawasan Internal (SPI), mahasiswa, orang tua mahasiswa sebagai penyumbang kontribusi pendidikan, masyarakat luas, hingga aparat penegak hukum—menyadari satu hal mendasar:

Segala dana yang dikelola oleh USK, baik yang bersumber dari APBN maupun non-APBN, tetaplah uang negara.

Dan karena itu:
• Harus dikelola berdasarkan regulasi,
• Harus diaudit oleh lembaga internal dan eksternal,
• Dan tidak boleh dikelola seperti dana pribadi oleh sekelompok elite kampus.

Catatan Pribadi Penulis

Kepada masyarakat luas, publik kampus, sahabat-sahabat penulis, saudara-saudara penulis sendiri, dan siapa pun yang membaca—di mana pun Anda berada:

Tulisan ini bukan serangan pribadi terhadap siapa pun. Ia adalah bentuk edukasi publik berbasis data dan regulasi yang sah. Ditulis dengan itikad baik dan sedikit pengetahuan hukum yang penulis miliki, opini ini dimaksudkan untuk membongkar kotak pandora dari kejahatan sistemik dalam pengadaan barang/jasa di Universitas Syiah Kuala.

Setiap nama yang disebut dalam tulisan ini merupakan pejabat publik yang sedang atau pernah menduduki jabatan strategis dalam institusi negara. Maka penyebutannya adalah bentuk pertanggungjawaban atas fungsi dan kewenangan yang diemban secara sah, bukan serangan terhadap pribadi.

Kepada saudara-saudara kandung penulis yang selama ini merasa bahwa opini-opini yang muncul telah mempermalukan keluarga besar, percayalah: yang jauh lebih memalukan adalah ketika kita mengetahui adanya penyimpangan, namun memilih diam demi kenyamanan pribadi. Penulis tidak menulis untuk mencari nama, apalagi musuh. Penulis menulis karena dorongan nurani. Karena ada tanggung jawab moral—sebagai warga, sebagai bagian dari dunia pendidikan, dan sebagai anak Aceh—untuk tidak membiarkan kampus negeri ini terus dikelola secara tertutup, sewenang-wenang, dan melawan hukum.

Dalam masyarakat Aceh yang menjunjung nilai kejujuran dan tanggung jawab, membiarkan kebusukan berdiam di dalam institusi pendidikan adalah pengkhianatan terhadap warisan intelektual kita sendiri.

Perbedaan merupakan hal yang wajar dalam ruang demokrasi. Kita mungkin tidak selalu sepakat dalam sudut pandang maupun cara penyampaian, namun kita tetap bisa saling menghargai. Tanggapan yang beragam—baik dukungan maupun penolakan—adalah bagian dari dinamika sehat dalam masyarakat yang berpikir dan peduli.

Maka ingatlah: opini ini adalah catatan waktu. Ia bukan sekadar kritik hari ini, tetapi warisan pemikiran untuk esok. Sebuah pesan bagi generasi Aceh selanjutnya—agar mereka tidak lagi tumbuh di bawah bayang-bayang kampus yang tampak megah secara fisik, tetapi keropos dalam integritas dan pengawasan.

Penutup

Tulisan ini bukan dakwaan pidana, melainkan panggilan moral berbasis hukum. Namun jika pembiaran terus terjadi, aparat penegak hukum wajib mengambil langkah hukum yang tegas.

Kita tidak butuh kampus mewah dengan pengawasan keropos.
Kita butuh kejujuran akademik yang berdiri di atas regulasi dan akuntabilitas.

Semua data, regulasi, dan analisis di atas bukan semata untuk menuding, tetapi sebagai ajakan untuk memperbaiki. Kita masih punya kesempatan memperbaiki arah kampus ini—jika para pengelola berani membuka diri dan kembali pada prinsip hukum publik.

Jika SPI bungkam, MWA pasif, dan Rektor terus bertindak tanpa dasar hukum:
USK bukan lagi rumah ilmu, tapi lorong gelap keuangan negara tanpa pengawasan.

Comment