Oleh: Teuku Abdul Hannan
Pemerhati Pengadaan Barang/Jasa
MediaSuaraMabes, Aceh – Sebagai penulis, saya sering mendapat pertanyaan, “Kenapa tulisan tentang USK terus muncul, seolah-olah tak pernah habis?”
Jawaban saya sederhana: karena masalahnya memang belum diperbaiki.
Saya menulis bukan karena benci kepada siapa pun, tetapi karena cinta pada universitas ini.
USK adalah kebanggaan Aceh — kampus yang seharusnya menjadi simbol integritas dan ilmu pengetahuan. Namun beberapa tahun terakhir, universitas ini justru dibiarkan terseret dalam pusaran kekuasaan, aturan yang saling bertentangan, dan sistem yang kehilangan arah.
Kini, saat Pemilihan Rektor USK periode 2026–2031 dimulai, momen ini bukan sekadar rutinitas akademik. Ini adalah ujian moral: siapa yang benar-benar mau memperbaiki, dan siapa yang hanya ingin mempertahankan posisi.
Sebagai pemerhati pengadaan barang/jasa, saya sudah lama menulis dan mengingatkan tentang berbagai penyimpangan di tubuh USK — mulai dari manipulasi kontrak, peraturan rektor yang menabrak hierarki hukum, hingga praktik pengawasan yang gagal total.
Tapi setiap kali kritik disampaikan, yang berubah bukan sistemnya, melainkan sikap defensif pejabatnya.
Padahal kritik yang berbasis fakta adalah bagian dari kontrol sosial, bukan serangan pribadi. Jika kritik dianggap ancaman, maka yang rusak bukan hanya etika akademik, tapi juga logika kepemimpinan.
Saya ingin menegaskan satu hal kepada setiap calon:
Kalau tidak berani memperbaiki dan merehabilitasi USK, jangan mencalonkan diri.
Leadership sejati bukan diukur dari gelar, pidato, atau reputasi global, melainkan dari keberanian menanggung risiko perubahan. Pemimpin sejati tidak mencari kenyamanan, tapi menantang status quo — termasuk berani mengakui dan memperbaiki kesalahan masa lalu.
Tulisan ini bukan untuk menjatuhkan siapa pun, melainkan pengingat bahwa kepemimpinan tanpa keberanian moral hanyalah jabatan kosong.
Karena tanpa reformasi, universitas besar pun bisa runtuh dari dalam — bukan karena serangan luar, tapi karena diamnya orang-orang yang tahu, tapi memilih tidak bertindak.
Di Persimpangan Reputasi dan Rehabilitasi
Pemilihan Rektor Universitas Syiah Kuala (USK) periode 2026–2031 hingga saat ini baru diikuti oleh dua nama yang resmi mendaftar, yakni Prof. Dr. Ir. Marwan dan Prof. Dr. Ir. Agussabti, M.Si., IPU.
Prof. Marwan menjadi pendaftar pertama dengan janji untuk “melanjutkan transformasi
dan memperkuat reputasi global USK.”
Namun pertanyaannya sederhana tapi mendasar: transformasi seperti apa yang hendak dilanjutkan?
Karena faktanya, di bawah kepemimpinannya, USK justru tengah menghadapi krisis tata
kelola paling serius dalam sejarahnya.
Sejumlah Peraturan Rektor dan Keputusan Rektor yang diterbitkan sejak 2023 terbukti tidak hanya cacat hukum, tetapi juga melemahkan sistem pengawasan, menghapus akuntabilitas, dan membuka ruang penyimpangan di lingkungan kampus.
Sementara itu, Prof. Agussabti, yang kini menjabat sebagai Wakil Rektor I Bidang Akademik dan sebelumnya pernah menjadi Dekan Fakultas Pertanian dua periode serta Wakil Rektor II, datang dengan pesan yang menenangkan: ingin “membangun USK yang lebih baik, berdampak bagi Aceh, dan bereputasi global.”
Namun sejauh ini, pesannya masih terdengar retoris dan belum menunjukkan arah nyata pembenahan.
Luka yang Belum Tertutup
Sejak menjadi PTN-BH, USK justru terjebak dalam kekacauan tata kelola.
Alih-alih memperkuat pengawasan, berbagai aturan internal justru memperlemah akuntabilitas.
Tiga di antaranya paling bermasalah:
• Pertor 54/2023, yang menghapus peran Rektor sebagai Pengguna Anggaran (PA);
• SK 476/2024, yang menciptakan jabatan KaSUKPA tanpa dasar hukum nasional; dan
• Pertor 87/2024, yang menempatkan Kepala SUKPA sebagai PA tanpa legitimasi hukum.
Masalah makin nyata dalam tender Pembangunan Gedung Fakultas Kedokteran Gigi Blok V Tahun 2025.
Melalui Addendum Dokumen Pemilihan Nomor 500/UN11.PBJ/LK.01.01/2025 tertanggal 24 Maret 2025, POKJA menambahkan syarat baru: peserta harus memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja (Manajer Lapangan – Gedung, jenjang 6) dan Sertifikat Insinyur Profesional (IPM) dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII).
Padahal, aturan nasional hanya mengakui SKK-K dan SBU yang diterbitkan oleh LSP terakreditasi BNSP, bukan sertifikat profesi dari asosiasi.
Kebijakan ini bukan hanya tidak sah, tetapi juga diskriminatif, karena menutup peluang penyedia yang sah secara LPJK dan membuka ruang pengaturan tender.
Lebih ironis lagi, Ketua PII Wilayah Aceh saat ini adalah Prof. Dr. Ir. Marwan, yang juga menjabat sebagai Rektor USK.
Kondisi ini menimbulkan benturan kepentingan nyata (conflict of interest): rektor sekaligus pimpinan asosiasi profesi yang sertifikatnya diwajibkan dalam tender kampus yang ia pimpin sendiri.
Inilah potret nyata kemunduran etika tata kelola.
Sistem check and balance hilang, tanggung jawab kabur, dan prinsip transparansi digantikan oleh kebijakan elitis yang menutup ruang persaingan sehat.
Catatan Nasional: Korupsi yang Makin Dilegalkan
Krisis di USK bukan hal yang berdiri sendiri. Ia mencerminkan kelesuan moral tata kelola nasional.
Dalam Catatan Akhir Tahun ICW 2024 “Melawan Gelap Tahun Politik”, disebutkan bahwa korupsi di Indonesia telah mencapai titik paling mengkhawatirkan.
Presiden Prabowo bahkan mengakuinya di World Government Summit 2025, menyebut mega-kasus seperti Jiwasraya, Asabri, Duta Palma, Timah, hingga Pertamina dengan potensi kerugian ratusan triliun rupiah.
Namun, pernyataan keras itu tak diikuti langkah nyata.
Sebaliknya, muncul wacana “memaafkan koruptor” yang mengembalikan uang negara dan kebijakan “denda damai” bagi pelaku korupsi — sebuah arah kebijakan yang, menurut ICW, melegitimasi impunitas.
Ketika negara di tingkat pusat saja mengabaikan akuntabilitas, kampus pun merasa aman meniru.
Dan USK hanyalah satu contoh bagaimana “kebijakan tanpa pengawasan” bisa menjelma menjadi kejahatan sistemik di dunia pendidikan.
Pola Korupsi di Perguruan Tinggi: Cermin untuk USK
Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sedikitnya 37 kasus dugaan korupsi di perguruan tinggi, dengan kerugian negara Rp.218,8 miliar dan nilai suap sekitar Rp.1,78 miliar.
Pelakunya bukan orang awam, melainkan civitas akademika, pejabat daerah, dan pihak swasta yang terlibat dalam proyek dan anggaran kampus.
ICW menyebut korupsi kampus sebagai “white collar crime” — kejahatan berkerah putih yang dilakukan oleh orang terdidik.
ICW mengidentifikasi 12 pola korupsi kampus, termasuk manipulasi pengadaan, penyalahgunaan dana penelitian dan beasiswa, suap penerimaan mahasiswa baru, hingga jual-beli nilai dan akreditasi.
KPK pun menyebut empat penyebab utama: lemahnya kontrol internal, data yang tidak andal, kekosongan pengawasan, dan minimnya partisipasi publik.
Empat faktor ini kini tampak jelas di USK.
Regulasi seperti Pertor 54/2023, SK 476/2024, dan Pertor 87/2024 telah memperlemah struktur akuntabilitas dan menciptakan pola yang sama seperti yang diperingatkan ICW dan KPK: korupsi yang tumbuh dari dalam sistem akademik itu sendiri.
Suap, Penyalahgunaan Anggaran, dan Robohnya Integritas Kampus
Kasus suap penerimaan mahasiswa baru di Universitas Lampung (Unila) menjadi cermin pahit bagi dunia akademik.
Mantan Rektor Prof. Karomani dan sejumlah pejabat kampusnya terbukti menerima suap miliaran rupiah demi meloloskan calon mahasiswa.
Selain itu, banyak perguruan tinggi lain terjerat penyalahgunaan anggaran: proyek fiktif, perjalanan dinas palsu, penggelembungan harga, dan manipulasi hibah penelitian.
Dalam kondisi seperti ini, korupsi di kampus bukan lagi pengecualian — tapi budaya yang menular.
Kampus yang seharusnya menjadi benteng moral justru menormalisasi penyimpangan
atas nama “otonomi.”
Dan ketika penyimpangan dilegalkan lewat peraturan internal, pendidikan kehilangan makna etiknya.
USK Tak Butuh Penjaga Nama Besar
USK tak butuh pemimpin yang sekadar menjaga nama besar, tapi sosok yang berani menyembuhkan sistem rusak yang lahir dari peraturan internalnya sendiri.
Kalimat itu harus menjadi cermin bagi semua calon rektor.
Karena yang dipertaruhkan bukan hanya reputasi pribadi, tetapi masa depan tata kelola kampus.
USK butuh pemimpin yang berani merehabilitasi sistem yang telah lama dibiarkan cacat — yang berani memulihkan kembali prinsip akuntabilitas, memperkuat integritas, dan menegakkan aturan di atas kepentingan pribadi.
Seorang pemimpin sejati bukanlah penjaga kenyamanan, melainkan penantang badai perubahan.
Karena, seperti pepatah Melayu mengatakan:
“Kalau takut di labuh gelombang, jangan berumah di tepi pantai.”
Pepatah itu mengingatkan kita bahwa memimpin bukan tentang berlindung dari risiko, tapi siap menghadapi gelombang dengan keberanian dan tanggung jawab.
Dan USK hari ini sedang menunggu sosok yang siap menempuh gelombang itu — bukan untuk dirinya, tapi untuk menyelamatkan kapal besar bernama universitas.
Catatan untuk Majelis Wali Amanat (MWA)
Dalam sistem PTN-BH, Majelis Wali Amanat (MWA) bukan sekadar simbol kehormatan. Mereka adalah penjaga konstitusi universitas — satu-satunya organ yang diberi mandat oleh statuta untuk memastikan bahwa rektor dan seluruh pejabat universitas tunduk pada prinsip tata kelola yang baik.
Namun selama masa kepemimpinan saat ini, publik nyaris tak pernah mendengar suara kritis MWA ketika muncul berbagai peraturan rektor yang cacat hukum. Padahal, ketika aturan internal menghapus akuntabilitas dan membuka peluang konflik kepentingan, diamnya MWA berarti turut melegitimasi penyimpangan itu.
MWA semestinya tidak hanya hadir dalam forum seremonial pemilihan rektor, tapi juga
menjadi garda etika dan pengawasan.
Kalau MWA ikut pasif, maka prinsip otonomi kampus akan berubah menjadi otonomi tanpa kontrol — bahkan menyerupai “negara kecil di dalam negara.”
Momentum pemilihan rektor 2026–2031 ini seharusnya juga menjadi ajang refleksi bagi MWA.
Apakah mereka akan kembali menjadi penonton, atau berdiri tegak sebagai penjaga
marwah universitas?
Karena pemilihan rektor yang bermartabat hanya mungkin lahir jika semua organ universitas, termasuk MWA, berani menegakkan integritas di atas segala kepentingan.
Rektor Baru: Antara Reputasi dan Rehabilitasi
Pemilihan rektor USK kali ini bukan hanya soal reputasi akademik.
Yang dibutuhkan bukan pemimpin yang pandai berpidato, tapi pemimpin yang berani memperbaiki sistem dan memulihkan kepercayaan publik.
USK tidak butuh rektor yang pandai berpidato, tapi pemimpin yang berani memperbaiki sistem dan memulihkan kepercayaan publik.
Saran penulis: siapa pun yang terpilih nanti, harus berani membatalkan Peraturan Rektor No. 87 Tahun 2024.
Langkah ini bukan hanya simbol reformasi, tetapi tindakan nyata untuk mengembalikan USK ke jalur hukum nasional dan menutup ruang penyimpangan struktural.
Tanpa keberanian itu, semua janji perubahan hanya akan menjadi slogan kosong.
Penutup
Sebagai pemerhati pengadaan barang/jasa, saya percaya bahwa masa depan kampus tidak ditentukan oleh gelar akademik pemimpinnya, tetapi oleh keberanian moralnya.
Reputasi bisa dibangun, tapi rehabilitasi membutuhkan kejujuran dan nyali.
Harapan saya sederhana: pimpinlah USK dengan nurani, bukan retorika. Karena di tengah gelapnya arah pemberantasan korupsi nasional, hanya kampus yang berintegritas yang bisa menjadi sumber cahaya bagi bangsa ini.

Bergabung di Media Suara Mabes (MSM) sejak tanggal 5 Agustus 2023 Sebagai Kepala Perwakilan Wilayah (Kaperwil) Aceh
Email : hanafiah@suaraMabes.com
Comment