Jangan Bodohi Publik : UU Pers Tak Pernah Wahibkan Wartawan Punya UKW Atau Terdaftar di PWI

Oleh: Hanafiah
Kepala Perwakilan Wilayah Aceh Media Suara Mabes (MSM)

Pers Merdeka, Publik Harus Melek Hukum

MediaSuaraMabes, Aceh – Tulisan ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat dan publik agar tidak terjebak dalam pemahaman keliru yang masih sering disebarkan oleh sebagian kalangan, seolah-olah seorang wartawan atau media baru dianggap sah apabila terdaftar di organisasi tertentu seperti PWI atau telah memiliki sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW).

Padahal, pandangan semacam itu tidak memiliki dasar hukum apa pun dalam sistem hukum pers Indonesia.

Baik Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers maupun peraturan turunannya tidak pernah mewajibkan wartawan bergabung dalam organisasi profesi atau memiliki sertifikat kompetensi.

Kemerdekaan pers adalah hak konstitusional, bukan fasilitas atau izin dari organisasi mana pun.

Pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999 menegaskan bahwa kemerdekaan pers merupakan wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Dengan dasar itu, tidak ada lembaga atau organisasi, termasuk PWI yang dapat mengklaim diri sebagai “pemberi izin moral” bagi wartawan atau media untuk menjalankan profesinya.

Kebebasan pers adalah amanat undang-undang, bukan hasil pemberian atau afiliasi organisasi.

UU Pers Tidak Pernah Mewajibkan Keanggotaan Organisasi Wartawan

Pasal 7 ayat (1) UU Pers menegaskan:
“Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.”

Frasa bebas di sini bermakna hak, bukan kewajiban.
Artinya, seorang wartawan boleh menjadi anggota PWI, AJI, IJTI, atau organisasi lainnya, namun juga tetap sah secara hukum bila tidak bergabung dengan organisasi mana pun.

Demikian pula Pasal 9 ayat (1)–(2) memberikan hak kepada setiap warga negara untuk mendirikan perusahaan pers yang berbadan hukum Indonesia. Tidak ada pasal yang mengharuskan media berada di bawah struktur organisasi wartawan.

Secara historis, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memang memiliki kontribusi besar dalam sejarah jurnalisme Indonesia.

Namun secara hukum, PWI hanyalah organisasi profesi, sejajar dengan organisasi wartawan lainnya bukan lembaga negara, bukan regulator, dan bukan pula otoritas nasional pers.

Dalam Anggaran Dasar (AD) PWI, dinyatakan bahwa PWI berasaskan Pancasila dan bertujuan meningkatkan profesionalisme serta kesejahteraan wartawan.

Namun, AD/ART itu hanya berlaku untuk anggotanya sendiri, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat wartawan atau media di luar keanggotaan PWI.

Oleh karena itu, tidak benar jika ada anggapan bahwa media atau wartawan yang tidak terdaftar di PWI dianggap ilegal atau tidak profesional.

Pernyataan semacam itu tidak memiliki dasar hukum dan justru bertentangan dengan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers, yang menugaskan Dewan Pers untuk memfasilitasi seluruh organisasi pers tanpa diskriminasi.

Dewan Pers dibentuk oleh undang-undang sebagai lembaga independen yang bertugas melindungi kemerdekaan pers, mengembangkan kehidupan pers nasional, serta mendata perusahaan pers.

Tidak ada satu pasal pun yang memberikan kewenangan kepada organisasi wartawan untuk menentukan sah atau tidaknya sebuah media.

Fungsi Dewan Pers adalah menjamin kebebasan dan profesionalisme, bukan membatasi atau memberikan “izin kerja.”

Organisasi wartawan hanya bersifat pembina bagi anggotanya, sedangkan tanggung jawab utama kebebasan pers berada di tangan wartawan dan lembaga pers itu sendiri.

Belakangan, muncul juga pandangan keliru yang menganggap Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai syarat hukum untuk menjadi wartawan profesional. Padahal, UU No. 40 Tahun 1999 tidak pernah menyebut istilah UKW, apalagi mewajibkannya.

Dasar yang sering dipakai hanya Pasal 15 ayat (2) huruf f, yang memberi tugas kepada Dewan Pers untuk memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.

Kata memfasilitasi tidak berarti mewajibkan.
Fungsi itu bersifat pembinaan, bukan norma hukum baru yang bersifat mengikat.

Aturan yang mengatur UKW baru muncul dalam Peraturan Dewan Pers No. 01/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan dan No. 04/2017 tentang Sertifikasi Lembaga Uji Kompetensi Wartawan.

Namun kedua peraturan tersebut bukan bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan nasional, melainkan kebijakan administratif internal Dewan Pers. Oleh karena itu, UKW tidak bersifat wajib, dan tidak ada sanksi hukum bagi wartawan yang belum mengikutinya.

Secara hukum positif, tidak ada kewajiban hukum bagi wartawan untuk memiliki sertifikat UKW.

Wartawan tetap sah secara hukum apabila menjalankan kegiatan jurnalistik secara teratur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 UU Pers, serta mematuhi Kode Etik Jurnalistik sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2).

Menjadikan UKW sebagai syarat legalitas profesi justru bertentangan dengan asas legalitas (lex scripta) dan prinsip nullum crimen sine lege, yaitu tidak ada kewajiban atau pelanggaran tanpa dasar hukum yang tertulis.

Maka, UKW harus dipahami sebagai instrumen pembinaan profesi, bukan kewajiban hukum.

Masyarakat harus memahami bahwa PWI bukan regulator pers dan UKW bukan kewajiban hukum.
Keduanya adalah bagian dari sistem pembinaan profesi yang bersifat sukarela, bukan alat penentu legalitas media atau wartawan.

Legalitas media ditentukan oleh badan hukum yang sah, ketaatan pada Kode Etik Jurnalistik, kepatuhan terhadap UU Pers, serta verifikasi Dewan Pers. Tidak ada satu pun organisasi profesi yang memiliki kewenangan untuk “mengabsahkan” wartawan atau media di Indonesia.

Kemerdekaan pers dijamin oleh konstitusi dan undang-undang, bukan oleh keanggotaan organisasi.

Wartawan tanpa UKW tetap sah, dan media tanpa afiliasi organisasi tetap legal — selama keduanya berpegang pada hukum, etika, dan integritas.

Hanafiah

Comment