Dari Hujan, Kopi, dan Nurani yang Tak Mau Diam

Oleh: Teuku Abdul Hannan
Pemerhati Pengadaan Barang/Jasa

MediaSuaraMabes, Aceh — Di tengah derasnya hujan yang membasahi Banda Aceh, secangkir kopi hitam tanpa gula menjadi saksi lahirnya sebuah refleksi yang menggugah nurani. Tulisan ini lahir bukan dari ruang hampa, tetapi dari ruang batin yang sesak oleh kenyataan sosial — tentang ketimpangan, kemunafikan, dan kemerosotan integritas yang perlahan menjadi wajah birokrasi di negeri ini.

Teuku Abdul Hannan, seorang pemerhati pengadaan barang dan jasa, menulis dengan nada lirih namun tajam. Ia menolak tunduk pada kebiasaan pura-pura tidak tahu. Melalui kata-kata, ia berusaha menjaga agar nurani tetap hidup di tengah sistem yang kian terbiasa berbohong.

“Masih adakah ruang bagi kejujuran di tengah sistem yang kotor?” tulisnya dalam bagian pembuka, sembari menggambarkan suasana hujan yang sunyi di Banda Aceh.

Tulisan itu berangkat dari keresahan yang berlapis: eksistensial, sosial, etik, dan spiritual. Empat dimensi yang berpadu membentuk kesadaran baru — bahwa keteguhan adalah bentuk perlawanan terakhir dari manusia jujur.

Dalam renungannya, Hannan menyoroti fenomena di mana jabatan dan tanda tangan lebih dihormati daripada kebenaran dan nurani. Ia menggambarkan kenyataan pahit dalam tubuh birokrasi yang kian jauh dari nilai-nilai moral.

“Kita hidup di zaman ketika jabatan lebih dihormati daripada kebenaran. Tanda tangan lebih berkuasa daripada nurani. Banyak keputusan lahir bukan dari pertimbangan hukum, tapi dari rasa takut kehilangan posisi,” tulisnya.

Ia juga menyinggung paradoks yang terjadi di Aceh — daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai syariat Islam — namun justru sering kali doa dan ayat suci hanya menjadi hiasan dalam kebijakan yang kehilangan jiwa keadilan.

“Ironi terbesar kita adalah ketika agama dijadikan selimut bagi keserakahan, dan hukum dijadikan tongkat untuk memukul yang lemah,” lanjutnya.

Meski getir, Hannan tidak kehilangan optimisme. Ia menulis tentang sosok-sosok yang masih bertahan dalam kejujuran, meski harus menghadapi tekanan dan ancaman.

“Masih ada orang-orang yang menolak tanda tangan meski diancam tak dapat proyek. Mereka tahu harga integritas tidak bisa ditukar dengan fasilitas,” ungkapnya.

Bagi Hannan, perjuangan melawan kebusukan sistem bukanlah perkara membalikkan keadaan secara instan, melainkan menjaga agar hati tetap bersih di tengah lumpur kekuasaan.

“Keadilan tidak selalu datang cepat, tapi keteguhan adalah cara kita menjemputnya — perlahan, pasti, dan dengan kepala tegak,” tulisnya penuh makna.

Menutup tulisannya, Hannan kembali meneguk kopi hitamnya — pahit, tapi jujur. Ia mengajak setiap insan untuk tidak menyerah pada kebusukan.

“Selama masih ada orang yang berani jujur di tengah kebusukan, maka harapan tidak benar-benar hilang. Hujan boleh turun, sistem boleh kotor, tapi nurani harus tetap hidup,” pesannya.

Ia menegaskan, perubahan besar tidak lahir dari mereka yang berkuasa, melainkan dari mereka yang menolak tunduk.

“Kejujuran memang tidak menjanjikan kemewahan, tapi ia satu-satunya yang membuat hidup punya arti. Dan selama masih ada orang yang memilih pahitnya kopi hitam daripada manisnya kompromi, bangsa ini masih punya harapan,” tutupnya.

Reporter: Hanafiah
Editor: Redaksi Media Suara Mabes

Comment