LEGAL OPINION
RH LAW FIRM & PARTNER
(Ridwan Muhammad, S.H., M.Hum.)
MediaSuaraMabes, Aceh – Pernyataan publik Regional CEO Bank Syariah Indonesia (BSI) Aceh, Imsak Ramadhan, sebagaimana diberitakan oleh AJNN.net pada tanggal 7 November 2025, yang menyebut bahwa “seluruh proses pembukaan dan pencairan rekening dana Program P3-TGAI telah dilakukan sesuai ketentuan”, bukan hanya menyesatkan, tetapi juga berpotensi mengaburkan fakta hukum dan pelanggaran administratif yang kini sedang menjadi perhatian publik dan lembaga pengawas.
Faktanya, tiga kelompok penerima manfaat Program P3-TGAI Tahun Anggaran 2025 — yakni P3A Andesra, P3A Usaha Bersama, dan P3A Mufakat Jaya — telah membuka rekening di BSI Kantor Cabang Ahmad Dahlan Banda Aceh pada tanggal 11 April 2025, meskipun seluruh kegiatan dan domisili program berada di Kabupaten Pidie Jaya yang memiliki enam kantor BSI aktif.
Fakta ini adalah anomali administratif yang tidak mungkin terjadi tanpa adanya instruksi atau intervensi dari pihak internal bank.
Dengan demikian, BSI tidak lagi dapat dianggap hanya lalai secara administratif, tetapi telah melakukan pelanggaran hukum yang bersifat sistemik dan terstruktur, dari tingkat cabang hingga regional.
Pernyataan Imsak Ramadhan justru menjadi pengakuan terselubung bahwa perbuatan ini bukan kerja oknum, melainkan kebijakan kelembagaan yang disengaja (mens rea administratif) untuk memindahkan locus kendali rekening dari wilayah program ke pusat bank di Banda Aceh.
Lebih jauh, keberadaan BSI di Aceh memiliki makna strategis dan moral.
Pasca berlakunya Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah, BSI menjadi satu-satunya lembaga keuangan dominan yang mengelola hampir seluruh transaksi keuangan masyarakat Aceh.
Dengan status monopoli tersebut, BSI seharusnya menjadi penjaga marwah ekonomi syariah — menjunjung amanah, keadilan, dan transparansi.
Namun pernyataan Imsak Ramadhan hanyalah pembelaan normatif untuk menutupi kebusukan administratif dan kegagalan syariah di tubuh BSI sendiri.
Konteks Hukum dan Fakta Lapangan
Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI) Tahun Anggaran 2025 merupakan program nasional Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dibiayai melalui APBN dan dilaksanakan oleh kelompok masyarakat penerima manfaat (P3A) di tingkat kabupaten.
Untuk wilayah Kabupaten Pidie Jaya, terdapat tiga kelompok penerima manfaat — P3A ANDESRA, P3A Usaha Bersama, dan P3A Mufakat Jaya — yang telah disahkan secara hukum melalui akta notaris yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT Siti Nurmawani, S.H., M.Kn., di Beurawang, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, masing-masing:
• P3A ANDESRA, Akta Nomor 112 tanggal 24 Maret 2025;
• P3A Mufakat Jaya, Akta Nomor 106 tanggal 24 Maret 2025; dan
• P3A Usaha Bersama, Akta Nomor 153 tanggal 26 Maret 2025.
Ketiga kelompok ini tercantum resmi dalam Keputusan Menteri PUPR Nomor 622/KPTS/M/2025 tentang Penetapan Lokasi Daerah Irigasi dan Kelembagaan Penerima Program P3-TGAI Tahun Anggaran 2025 sebagai penerima program pada wilayah kerja Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera I.
Namun, alih-alih membuka rekening di BSI Kantor Cabang Pembantu (KCP) wilayah Pidie Jaya — di mana tersedia enam kantor aktif (KCP Bandar Baru, Bandar Dua, Meurah Dua, Meureudu 1, Meureudu 2, dan Meureudu 3) — pembukaan rekening justru dilakukan di BSI Kantor Cabang Banda Aceh Ahmad Dahlan, berjarak sekitar 130 km dari lokasi
kegiatan dan domisili kelompok.
Tindakan ini tidak memiliki dasar administratif yang sah dan secara hukum menunjukkan adanya pemindahan locus pembukaan rekening secara sengaja (mens rea administratif), yang memindahkan kendali rekening dari wilayah program ke pusat pengawasan bank di Banda Aceh.
Faktanya, pembukaan rekening dilakukan pada 11 April 2025 dengan rincian:
• P3A ANDESRA – No. Rek. 7305534763
• P3A Usaha Bersama – No. Rek. 7305534764
• P3A Mufakat Jaya – No. Rek. 7305335791
Masing-masing rekening menerima dana Rp 195.000.000,– (total Rp 585.000.000,–) yang dikreditkan sejak April 2025.
Lebih memprihatinkan lagi, formulir spesimen pembukaan rekening tidak diisi di kantor bank, melainkan beredar di luar kantor dan difasilitasi oleh Yuslianda, yang sehari-hari bekerja di kantor Notaris Siti Nurmawani di Meureudu.
Proses pengisian dilakukan di rumah Yuslianda di Gampong Rungkom, Kecamatan Meureudu, tanpa kehadiran satu pun pegawai BSI.
Tindakan ini jelas melanggar Prinsip Know Your Customer (KYC) dan Customer Due Diligence (CDD) sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan.
Lebih lanjut, hingga awal November 2025, ketiga P3A belum pernah menerima buku tabungan asli maupun mengakses rekening mereka, padahal SPMK program dimulai 4 Agustus 2025 dan berakhir 1 November 2025.
Dengan demikian, secara de facto, kegiatan lapangan telah selesai tanpa partisipasi keuangan dari kelompok penerima manfaat, karena dana yang seharusnya dikelola mereka tidak pernah mereka kuasai.
Kondisi ini merupakan pelanggaran serius terhadap Prinsip Kehati-hatian (Prudential Banking) dan Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam POJK No. 1/POJK.07/2013, karena BSI gagal menjamin hak akses nasabah dan tidak menjalankan tanggung jawab administratif sebagaimana mestinya.
Analisis Hukum dan Tanggung Jawab Kelembagaan
1. Pelanggaran Prinsip Kehati-hatian dan Integritas Administratif
Pembukaan rekening di luar wilayah program dan tanpa kehadiran pejabat bank menunjukkan bahwa BSI telah mengabaikan prinsip kehati-hatian dan integritas sistem perbankan.
Fakta bahwa formulir spesimen pembukaan rekening beredar di luar kantor dan diisi di rumah pribadi pihak ketiga (Yuslianda) adalah bukti nyata pelanggaran prosedur verifikasi nasabah.
Tindakan tersebut secara terang melanggar prinsip Know Your Customer (KYC) dan Customer Due Diligence (CDD) sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 12/POJK.01/2017, sekaligus mencerminkan kegagalan pengendalian internal dan lemahnya pengawasan regional.
2. Unsur Mens Rea dalam Pemilihan Kantor Cabang Ahmad Dahlan
Seluruh kegiatan Program P3-TGAI Tahun Anggaran 2025 berlangsung di Kabupaten Pidie Jaya, tempat berdomisilinya tiga P3A penerima manfaat, dan di wilayah ini pula terdapat enam kantor operasional BSI yang aktif.
Namun, pembukaan rekening justru dilakukan di BSI Kantor Cabang Banda Aceh Ahmad Dahlan, yang berjarak lebih dari 130 kilometer dari lokasi kegiatan.
Tidak ada alasan rasional, teknis, ataupun administratif yang dapat membenarkan pemindahan locus pembukaan rekening sejauh itu.
Tindakan ini menunjukkan adanya unsur kesengajaan sadar (mens rea administratif) untuk memindahkan kendali rekening dari pengawasan lokal di Pidie Jaya ke cabang utama di Banda Aceh, yang menyebabkan pengawasan menjadi longgar dan kontrol dana beralih kepada pihak tertentu.
Dalam perspektif hukum administrasi publik dan tata kelola perbankan, pemindahan locus lintas kabupaten tanpa dasar kebijakan resmi tidak mungkin berdiri sendiri — selalu ada motif, jaringan, dan kepentingan tertentu di baliknya.
Ini mengindikasikan adanya rekayasa administratif yang dilakukan secara sadar oleh struktur internal bank.
3. Fakta yang Lebih Berat: Dana Telah Ditarik oleh Pihak Lain
Hasil penelusuran dan pengakuan tertulis dalam Surat Pernyataan Resmi masing-masing P3A tertanggal 29 Oktober 2025 menunjukkan indikasi kuat bahwa dana sebesar Rp195.000.000 per kelompok (total Rp585.000.000) telah ditarik atau dipindahbukukan oleh pihak lain atas persetujuan internal BSI, tanpa sepengetahuan dan tanpa kuasa dari pengurus sah kelompok penerima manfaat.
Perbuatan ini tidak lagi dapat dikategorikan sebagai kelalaian administratif, melainkan telah masuk kategori tindak pidana perbankan aktif, sebagaimana diatur dalam:
• Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
• serta Pasal 52 Undang-Undang yang sama, yang mengatur mengenai penyalahgunaan kewenangan dan pencatatan palsu dalam pembukuan bank.
Dengan demikian, tanggung jawab hukum tidak hanya melekat pada pejabat BSI Cabang Ahmad Dahlan, tetapi juga pada struktur pengawasan internal dan Regional CEO BSI Aceh yang telah mengetahui fakta ini namun tidak mengambil langkah korektif, sehingga memenuhi unsur culpa in vigilando (kelalaian dalam pengawasan).
4. Tanggung Jawab Regional CEO dan Keterlibatan Kelembagaan
Pernyataan publik Regional CEO BSI Aceh, Imsak Ramadhan, dalam berita AJNN.net tanggal 7 November 2025, yang menyebut bahwa “seluruh proses pembukaan dan pencairan rekening dana P3-TGAI telah dilakukan sesuai ketentuan”, bukan hanya pernyataan menyesatkan, tetapi juga pengakuan terselubung bahwa kebijakan tersebut diketahui dan disetujui di tingkat regional.
Dengan kata lain, ini bukan lagi kesalahan cabang, melainkan bentuk kelalaian terstruktur (culpa in vigilando) dan kegagalan sistemik (institutional failure) dalam tata kelola perbankan syariah.
Lebih jauh, pernyataan tersebut memperlihatkan upaya menutupi pelanggaran administratif yang disengaja, sehingga memperkuat dugaan adanya keterlibatan kelembagaan (institutional complicity).
5. Potensi Tindak Pidana dan Pembohongan Publik
Klaim BSI bahwa buku rekening telah diserahkan pada 17 Juni 2025, padahal hingga kini nasabah belum pernah menerima atau mengaksesnya, merupakan keterangan tidak benar secara administratif.
Apabila benar dana telah berpindah tangan tanpa persetujuan pemilik sah, maka tindakan tersebut masuk kategori pemalsuan dokumen perbankan internal dan penggelapan dana nasabah, yang dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b dan Pasal 52 UU Perbankan.
Pernyataan Imsak Ramadhan yang membela BSI dengan menyebut “semua proses sesuai ketentuan” justru memperlihatkan bahwa BSI melakukan pembenaran korporatif terhadap pelanggaran hukum.
Ini berarti bahwa BSI telah melakukan kejahatan perbankan secara resmi, bukan lagi oleh oknum, melainkan oleh institusi.
6. Kesimpulan
Dari seluruh fakta dan norma di atas, jelas bahwa:
• Pelanggaran yang dilakukan BSI KC Ahmad Dahlan bukanlah insiden administratif, tetapi produk dari sistem yang cacat secara kelembagaan.
• Pembiaran oleh Regional CEO BSI Aceh memperlihatkan kelalaian pengawasan sistemik, melanggar prinsip prudential banking, good corporate governance, dan akuntabilitas publik.
• Indikasi pencairan dana tanpa kuasa dan pernyataan publik yang menyesatkan telah menempatkan BSI sebagai pelaku kejahatan administratif sekaligus perbankan aktif.
Maka dari itu, sudah sepatutnya OJK dan Aparat Penegak Hukum (APH) segera turun tangan melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap BSI di Aceh, agar pelanggaran ini tidak menjadi preseden yang merusak integritas sistem perbankan syariah di Indonesia, khususnya di Aceh — daerah yang menegakkan syariah sebagai sistem hukum dan sosialnya.”
Pola Kebohongan dan Distorsi Fakta oleh Pejabat BSI
Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebohongan bukan lagi dilakukan oleh oknum individu, melainkan telah menjadi pola kelembagaan di tubuh BSI.
Pertama, Muntaha Mahfud, selaku Branch Manager BSI KC Ahmad Dahlan Banda Aceh, secara terbuka menyampaikan keterangan palsu dalam surat resmi bank tertanggal 24 Oktober 2025, seolah-olah buku rekening telah diserahkan pada 17 Juni 2025.
Kedua, kebohongan administratif tersebut kemudian diperkuat oleh Imsak Ramadhan, Regional CEO BSI Aceh, melalui pernyataannya kepada media pada 7 November 2025 yang menyebut bahwa “seluruh proses pembukaan dan pencairan dana telah dilakukan sesuai ketentuan.”
Padahal, hingga kini ketiga kelompok penerima manfaat (P3A) belum pernah menerima buku rekening dan tidak pernah mengakses dananya. Pernyataan publik ini bukan sekadar damage control, tetapi menunjukkan bahwa kebohongan telah menjadi bagian dari sistem komunikasi resmi bank.
Kedua pernyataan ini tidak hanya menunjukkan ketidakjujuran personal, tetapi mencerminkan budaya kelembagaan yang membenarkan kebohongan sebagai alat pertahanan institusional.
Jika pejabat cabang berbohong, lalu pejabat regional menutupinya, maka yang rusak bukan lagi individu, tetapi sistem nilai dan etika korporasi BSI secara keseluruhan.
Kesan yang muncul di hadapan publik kini bukan lagi “Bank Syariah Indonesia yang amanah,” melainkan “Bank Syariah yang menjadikan kebohongan sebagai pakaian resminya.”
Dan ketika kebohongan telah dijadikan kebijakan komunikasi, maka kebenaran tak lagi dicari — hanya ditutupi.
Penutup dan Seruan
BSI Aceh telah melanggar prinsip dasar perbankan syariah — amanah dan keadilan.
Fakta bahwa rekening dibuka di luar wilayah program, formulir diisi di luar kantor, buku tabungan ditahan, dan dana tak dapat diakses hingga proyek berakhir (SPMK 4 Agustus–1 November 2025) menunjukkan kejahatan administratif yang terencana dan sistemik.
Kami mendesak:
1. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh dan mengambil langkah hukum terhadap pejabat BSI dari tingkat cabang hingga regional;
2. Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menyelidiki potensi tindak pidana perbankan dan dugaan keterlibatan pihak lain dalam pengelolaan dana program pemerintah;
3. Pemerintah Aceh dan DPRA untuk meninjau kembali praktik monopoli perbankan syariah di Aceh, agar tidak menjadi instrumen penyalahgunaan kekuasaan ekonomi atas nama syariah.
BSI tidak sedang diuji oleh publik — BSI sedang mengkhianati nilai-nilai syariah yang ia usung sendiri.
Dan pengkhianatan terbesar dalam sistem keuangan syariah bukan dilakukan oleh umat, melainkan oleh lembaga yang mengaku paling syariah namun paling menodainya.

Bergabung di Media Suara Mabes (MSM) sejak tanggal 5 Agustus 2023 Sebagai Kepala Perwakilan Wilayah (Kaperwil) Aceh
Email : hanafiah@suaraMabes.com









Comment