Pembangunan Rumah Layak Huni Aceh 2025: Realitas, Ilusi, dan Penyimpangan Pengadaan

Oleh :
Teuku Abdul Hannan
Pemerhati Pengadaan Barang/Jasa

MediaSuaraMabes, Aceh – Pemerintah Aceh pada tahun anggaran berjalan menargetkan Pembangunan Rumah Layak Huni sebanyak 2.000 unit dengan total anggaran sekitar Rp 192 miliar (Rp 96 juta per unit). Program ini bukan sekadar inisiatif pembangunan, melainkan merupakan satu mata anggaran strategis di APBA 2025, yang pengelolaannya wajib tunduk sepenuhnya pada ketentuan pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai Perpres No. 16 Tahun 2018 jo. Perpres No. 12 Tahun 2021. Hingga saat ini, 1.470 calon penerima telah diverifikasi oleh tim teknis, sementara sisanya masih dalam proses pendataan.

Penulis tidak akan masuk untuk mendesak Gubernur Aceh mempercepat eksekusi pembangunan rumah atau terlibat dalam keributan yang terjadi di Dinas Perkim Aceh. Tulisan ini disusun semata-mata untuk memberikan edukasi kepada masyarakat agar memahami realitas program ini dari sisi hukum, teknis, dan manajemen, sehingga publik memiliki gambaran utuh apakah program ini realistis dijalankan di sisa tahun 2025.

Semua persoalan ini tidak lepas dari sosok T. Aznal Zahri, Kepala Dinas Perkim Aceh, yang berlatar belakang lulusan STPDN dan tidak memiliki pemahaman memadai mengenai manajemen di bidang pekerjaan umum (PU). Akibatnya, pengelolaan program strategis ini jauh dari prinsip tata kelola yang baik, dan justru memperdalam krisis manajemen di internal Perkim Aceh.

Problem Manajemen Internal Perkim Aceh

Di bawah kepemimpinan T. Aznal Zahri, Dinas Perkim Aceh justru menunjukkan kemunduran serius dalam tata kelola anggaran dan manajemen proyek. Fakta mencolok adalah penunjukan M. Ilham, ST, Pejabat Kabid Tata Bangunan, untuk merangkap jabatan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) pada tiga kegiatan besar sekaligus:

• Bidang Tata Bangunan,
• Bidang Sarana dan Prasarana Umum, serta
• Bidang Perumahan,

dengan total nilai anggaran yang dikelola mencapai kurang lebih Rp 400 miliar.

Pertanyaan logisnya: apakah masuk akal satu orang mengendalikan tiga KPA dengan rentang kendali yang sangat luas dan nilai sebesar itu? Dari sudut pandang manajemen publik dan pengelolaan keuangan negara, praktik ini membentuk pola rawan penyalahgunaan wewenang, menghilangkan mekanisme check and balance, dan bertentangan dengan prinsip efektivitas, akuntabilitas, serta pembagian fungsi kontrol sebagaimana diatur dalam Perpres No. 16 Tahun 2018.

Penyimpangan Mekanisme Pengadaan

Berdasarkan Surat Edaran LKPP No. 2 Tahun 2025, pengadaan jasa konstruksi melalui E-Katalog Versi 5 resmi ditutup pada 31 Juli 2025. Sejak saat itu, LKPP memberlakukan E-Katalog Versi 6 yang pada tahap implementasi awal hanya memfasilitasi pengadaan barang,jasa dan digital. Artinya, pekerjaan konstruksi—termasuk Pembangunan Rumah Layak Huni—tidak lagi dapat dilaksanakan melalui mekanisme e-purchasing versi ini.

Bahwa berdasarkan pemberitaan media, para calon penyedia telah lebih dulu menitipkan perusahaan konstruksi kepada Arief selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) sejak jauh hari sebelumnya. Bahkan, dari informasi yang diperoleh penulis, komitmen untuk melibatkan perusahaan jasa konstruksi sudah dibangun sejak tahun sebelumnya, dengan pemahaman bahwa pelaksana program ini adalah pihak yang memiliki klasifikasi usaha jasa konstruksi sesuai kebutuhan teknis pembangunan rumah.

Namun, T. Aznal Zahri justru memaksakan penggunaan e-purchasing dengan mengubah klasifikasi menjadi jasa akomodasi/sewa—kategori yang dalam KBLI berada di subbagian pengadaan barang. Konsekuensinya, penyedia yang terlibat adalah perusahaan pengadaan barang, bukan perusahaan jasa konstruksi yang memiliki kompetensi teknis membangun rumah.

Kebijakan ini tidak hanya mengingkari kesepahaman awal dengan calon penyedia, tetapi juga menyalahi prinsip kesesuaian klasifikasi usaha dalam pengadaan pemerintah sebagaimana diatur dalam Perpres No. 16 Tahun 2018 jo. Perpres No. 12 Tahun 2021. Secara hukum, tindakan ini berpotensi menjadi maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang karena mengalihkan jenis penyedia secara sepihak, mengabaikan kompetensi teknis yang dibutuhkan, serta mengorbankan kualitas pekerjaan dan kepentingan penerima manfaat.

Langkah ini bukan hanya menyesatkan program, tetapi juga menyesatkan Gubernur Aceh sebagai kepala daerah dan menyesatkan masyarakat penerima manfaat. Semua ini mencerminkan ambisi pribadi T. Aznal Zahri yang mengorbankan kepentingan publik demi memaksakan agenda yang secara hukum, teknis, dan manajerial cacat sejak awal.

Kelayakan Waktu Pelaksanaan

Secara teknis, pembangunan satu unit rumah layak huni membutuhkan waktu efektif sekitar empat bulan dari persiapan lahan, pengadaan material, pelaksanaan konstruksi, hingga serah terima. Dengan sisa waktu tahun anggaran 2025 yang semakin sempit, target 2.000 unit—di mana 1.470 unit sudah terverifikasi—sangat sulit dicapai tanpa mengorbankan kualitas.

Memaksakan pelaksanaan proyek dalam kondisi seperti ini berpotensi menghasilkan pekerjaan asal jadi, pengabaian standar teknis, kerugian bagi penerima manfaat, serta pemborosan anggaran negara.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dengan mempertimbangkan keterbatasan waktu, pelanggaran mekanisme pengadaan, serta krisis manajemen internal, program Pembangunan Rumah Layak Huni Aceh Tahun 2025 tidak realistis untuk dilanjutkan dalam tahun anggaran berjalan. Memaksakan pelaksanaan proyek pada kondisi seperti ini hanya akan menghasilkan pekerjaan asal jadi, mengabaikan standar teknis, memboroskan anggaran, dan merugikan penerima manfaat.

Penulis merekomendasikan kepada Gubernur Aceh, Mualem, untuk:

• Menghentikan pelaksanaan fisik program di tahun 2025 demi menghindari pemborosan anggaran dan potensi kerugian negara.

• Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap manajemen Perkim Aceh di bawah kepemimpinan T. Aznal Zahri, termasuk peninjauan kembali kebijakan penunjukan satu orang untuk memegang tiga KPA bernilai ratusan miliar rupiah.

• Menyiapkan perencanaan ulang dengan mekanisme pengadaan yang sesuai aturan, melibatkan perusahaan jasa konstruksi yang memiliki kompetensi teknis, dan memastikan distribusi kewenangan KPA yang proporsional serta memenuhi prinsip check and balance.

• Mempersiapkan mental dan pemahaman para calon penerima manfaat agar siap menghadapi proses pembangunan rumah yang sesuai prosedur, termasuk kemungkinan penyesuaian waktu pelaksanaan dan mekanisme pengadaan, sehingga ekspektasi tetap realistis dan tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan pribadi atau politik.

Jika langkah tegas tidak diambil, program ini berisiko menjadi sekadar janji politik yang membebani APBA, merugikan rakyat, dan memperburuk citra Pemerintah Aceh di mata publik.

Comment